Payango.id | Boalemo – Ketika hukum mulai kehilangan taring, dan keadilan seolah hanya jadi wacana di ruang rapat yang dingin, suara dari rakyat kecil justru hadir membawa bara—meski hanya setitik, tapi cukup untuk menyulut nurani yang mulai beku. Adalah Nanang Syawal, warga biasa Kabupaten Boalemo, yang menulis surat terbuka dengan nyali besar—surat yang tidak bersuara keras, tapi menghujam langsung ke jantung integritas.
Dalam surat bertajuk “Keadilan Butuh Nyali”, Nanang tidak sedang mengemis perhatian. Ia menyampaikan seruan moral. Seruan yang tidak dibungkus kemarahan, melainkan harapan. Harapan bahwa di balik tembok Kejaksaan Negeri Boalemo, masih hidup keyakinan pada sumpah penegakan hukum yang pernah diucapkan—bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk kebenaran.
“Saya tidak membawa massa. Saya membawa keyakinan.
Saya tidak meneriakkan protes. Saya menyampaikan doa,” tulis Nanang dalam penggalan suratnya.
Surat ini bukan sekedar kritik. Ia adalah ajakan untuk melihat ke dalam, menatap kembali alasan awal mengapa seseorang memilih menjadi jaksa. Bukan demi jabatan, tetapi karena ingin menjadi penjaga nilai bangsa.
Nanang secara tegas menyinggung kasus dugaan perjalanan dinas fiktif DPRD Boalemo—kasus yang bukan lagi sekedar angka atau laporan resmi. Ini soal kepercayaan publik yang dikhianati secara terang-terangan. Ia menyebut bahwa berdasarkan temuan BPK RI, ada uang negara yang dipertanggungjawabkan, tetapi tidak pernah digunakan untuk kegiatan sebagaimana mestinya.
Lebih menyakitkan lagi, dari 25 anggota DPRD periode 2019–2024, 12 orang kembali duduk di kursi kekuasaan, bahkan 2 lainnya naik jabatan—sementara proses hukum atas dugaan penyalahgunaan anggaran itu belum jua menemukan kejelasan.
“Yang diduga menyalahgunakan uang rakyat—naik pangkat.
Sementara hukum masih diam, seolah bingung hendak melangkah,” tulis Nanang, dengan nada getir.
Surat ini tidak penuh umpatan. Tidak ada tudingan membabi buta. Tapi justru karena itu, ia terasa lebih dalam. Nanang bicara dari ruang batin rakyat yang lelah berharap, namun tetap menggenggam secercah kepercayaan—bahwa masih ada jaksa yang tidak bisa dibeli oleh waktu, jabatan, atau tekanan politik.
Ia menyitir instruksi dan peraturan internal kejaksaan sebagai pengingat: bahwa kejaksaan bukan sekadar institusi formal, melainkan tempat bersandarnya idealisme penegakan keadilan.
Surat ini ditutup dengan kalimat yang tajam namun elegan:
“Dan bila suara ini sampai ke dalam ruang batin kalian, wahai para penyidik,
biarlah ia menjadi pengingat:
bahwa keberanian kalian hari ini,
adalah teladan moral yang akan dikenang anak cucu nanti.”
Payango.id mencatat surat ini sebagai cermin: bahwa suara rakyat tidak selalu datang dari panggung, kadang ia lahir dari pena seorang warga biasa yang menolak diam.
Boalemo hari ini tidak butuh pencitraan. Ia butuh keberanian.
Dan seperti kata Nanang: Keadilan butuh nyali.


















