Di sebuah kota kecil di jazirah Arab, hiduplah dua sahabat: Bilal bin Rabah dan Abu Dzar al-Ghifari. Keduanya berbeda latar belakang. Bilal adalah seorang mantan budak Habasyi yang pernah disiksa karena keislamannya, sedangkan Abu Dzar berasal dari kabilah yang terhormat.
Namun ada sesuatu yang membuat keduanya begitu dekat: cinta karena Allah.
Suatu hari, keduanya berselisih paham. Dalam perdebatan itu, Abu Dzar khilaf dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati Bilal, menyebut asal-usulnya dengan nada merendahkan. Bilal terdiam, lalu dengan mata berkaca-kaca berkata:
“Wahai Abu Dzar, engkau masih mencela diriku karena ibuku yang berkulit hitam? Demi Allah, ucapanmu itu tidak pantas keluar dari lisan seorang mukmin.”
Berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ. Beliau menegur Abu Dzar dengan tegas:
“Engkau adalah seorang yang masih memiliki sifat jahiliyah, wahai Abu Dzar!”
Mendengar itu, Abu Dzar merasa hatinya hancur. Ia segera mencari Bilal. Saat bertemu, ia menjatuhkan dirinya ke tanah dan meletakkan pipinya di pasir seraya berkata:
“Wahai Bilal, aku tidak akan bangkit sampai engkau meletakkan kakimu di wajahku. Aku ingin menebus kesalahanku.”
Bilal terharu. Ia menangis, lalu mengangkat sahabatnya itu dan memeluknya seraya berkata:
“Demi Allah, aku mencintaimu karena Allah. Aku tidak akan membenci seorang saudara karena kelemahannya, tapi aku akan membenci keburukan yang menjauhkan kita dari Allah.”
Pelajaran dari Kisah Ini
Sabda Rasulullah ﷺ:
النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ فِي اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِي اللَّهِ
Latin:
An-Nabiyyu ﷺ qāla: Awthaq ‘urā al-īmān al-ḥubbu fīllāhi wal-bughḍu fīllāh.
Artinya:
Rasulullah ﷺ bersabda: “Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.”
(HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Al-Hakim)
Kisah Bilal dan Abu Dzar menunjukkan:
Cinta karena Allah menyatukan hati meski berbeda warna kulit, kedudukan, dan harta.
Benci karena Allah bukan membenci orangnya, tapi membenci sifat buruk yang menodai iman.
Dengan cinta dan benci yang terikat pada Allah, persaudaraan tidak hancur karena kesalahan, justru makin kokoh dengan taubat, keikhlasan, dan saling memaafkan.